Select Page

Tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf terus mencatatkan kenaikan. Temuan survei Center for Political Communication Studies (CPCS) menunjukkan sebanyak 82,7 persen publik yang merasa puas dengan kinerja Presiden Jokowi pada periode kedua ini.

Di antara yang menyatakan puas tersebut, ada 12,5 persen yang bahkan merasa sangat puas dipimpin Jokowi. Sedangkan yang menyatakan tidak puas hanya 16,6 persen, di antaranya 0,8 persen tidak puas sama sekali, dan sisanya 0,7 persen tidak tahu/tidak jawab.

Tren kepuasan tersebut mengalami kenaikan sejak awal tahun 2023, dan pada pertengahan tahun menembus batas psikologis 80 persen. Kepuasan naik tipis dan tetap bertahan di atas 80 persen selama kuartal akhir 2023.

Tingginya tingkat kepuasan pada momentum menjelang digelarnya Pemilu 2024 memberikan gambaran akan besarnya harapan publik agar kepemimpinan nasional berikutnya bisa melanjutkan pencapaian program-program pemerintahan Jokowi selama dua periode.

“Kepuasan yang mencapai 82,7 persen menunjukkan bahwa publik bakal memilih pasangan capres-cawapres yang paling memiliki komitmen soal keberlanjutan program Jokowi,” ungkap peneliti senior CPCS Hatta Binhudi dalam press release di Jakarta pada Jumat (22/12).

Menurut Hatta, wacana keberlanjutan sudah menjadi harga mati bagi mayoritas pemilih, tidak bisa ditawar-tawar lagi. “Tentu saja masih ada pemilih yang tidak puas dan menginginkan perubahan, tetapi jumlahnya relatif kecil,” tandas Hatta.

Meskipun kecil, tetapi ceruk ketidakpuasan tersebut masih bisa menjadi signifikan bagi capres-cawapres yang terus menggaungkan narasi perubahan. Sebut saja Anies Baswedan yang sejak terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta memposisikan diri sebagai oposisi terhadap Jokowi.

“Jika kita melihat elektabilitas Anies sebelum-sebelumnya, hampir beririsan dengan tingkat ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi,” lanjut Hatta. Namun faktanya, bersandar pada jargon perubahan saja tidak cukup untuk bisa memenangkan kontestasi Pilpres.

Bergabungnya Muhaimin Iskandar sebagai cawapres Anies dengan membawa gerbong PKB berpotensi memperluas basis dukungan. “Hasilnya, elektabilitas Anies-Cak Imin kini cenderung naik dan berpotensi menggeser posisi Ganjar Pranowo dan Mahfud MD,” jelas Hatta.

Posisi sulit kini dirasakan oleh pasangan Ganjar-Mahfud yang jenis kelaminnya terasa membingungkan bagi publik. “Di satu sisi ingin mendorong keberlanjutan, di sisi lain Ganjar-Mahfud harus membuat diferensiasi terhadap pasangan Prabowo-Gibran,” ujar Hatta.

Sebagaimana jamak diketahui, Prabowo Subianto yang berpasangan dengan putera sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi representasi paling kuat terhadap keberlanjutan program-program pemerintahan Jokowi.

“Seperti tampak dalam debat pertama yang diselenggarakan KPU, Prabowo bertindak layaknya capres petahana yang membela kebijakan pemerintahan Jokowi saat ini, dan mendapat serangan tidak saja dari Anies tetapi juga oleh Ganjar,” Hatta menjelaskan.

Ironisnya, Ganjar-Mahfud merupakan pasangan capres-cawapres yang diusung oleh PDIP, partai yang menjadi penyangga utama pemerintahan Jokowi dan menjadi pemenang dalam dua kali pemilu berturut-turut.

Majunya Prabowo dan Ganjar dalam paket yang terpisah merupakan dinamika dari perpecahan antara Jokowi dan elite PDIP. “Prabowo yang didukung kuat oleh Jokowi berada di atas angin, sementara Ganjar dan PDIP kini berlaku seolah-olah menjadi oposisi,” terang Hatta.

Posisi ambigu semacam itu memberikan disinsentif elektoral sehingga berbuah pada merosotnya elektabilitas pasangan Ganjar-Mahfud. “Publik lebih menginginkan capres-cawapres yang mempunyai komitmen kuat terhadap keberlanjutan program-pogram Jokowi,” pungkas Hatta.

Survei CPCS dilakukan pada 7-14 Desember 2023, dengan jumlah responden 1200 orang mewakili 34 provinsi yang diwawancarai secara tatap muka. Metode survei adalah multistage random sampling, dengan margin of error ±2,9 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen. (*)