Select Page

Melejitnya Prabowo-Gibran dalam gelaran Pilpres memberi efek elektoral bagi Gerindra sebagai partai pengusung utamanya. Temuan survei Center for Political Communication Studies (CPCS) menunjukkan Gerindra unggul dengan elektabilitas mencapai 19,0 persen.

Dengan raihan tersebut, Gerindra berhasil sepenuhnya menggeser dominasi PDIP. Elektabilitas PDIP hanya sebesar 16,7 persen, menempatkannya pada peringkat kedua, sekaligus memupus harapan untuk bisa menang ketiga kalinya dalam pemilu kali ini.

“Gerindra diprediksi bakal menggeser dominasi PDIP dalam pemilu legislatif 2024, yang berarti PDIP batal mencetak hattrick,” ungkap peneliti senior CPCS Hatta Binhudi dalam press release di Jakarta pada Jumat (22/12).

Menurut Hatta, partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) mulai menikmati coattail effect dari pengusungan pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024.

“Gerindra yang paling diuntungkan berkat asosiasi partai tersebut dengan Prabowo sebagai ketua umum sekaligus tokoh sentral sejak awal didirikan,” tandas Hatta. Publik pun telah lama mengenal Prabowo khususnya setelah dua kali maju nyapres pada 2014 dan 2019 silam.

Sebelumnya, Prabowo sempat maju sebagai cawapres pasangan Megawati Soekarnoputri pada Pilpres 2009. Prabowo mendirikan Gerindra setelah kalah dalam konvensi capres Golkar, yang bersama-sama PDIP menjadi oposisi terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Nama Prabowo selalu dikaitkan dengan isu penculikan aktivis yang terjadi menjelang runtuhnya Orde Baru. Setiap kali Prabowo maju dalam Pilpres, wacana pelanggaran HAM terus-menerus digaungkan oleh kalangan masyarakat sipil maupun lawan-lawan politik yang turut berlaga.

“Yang membedakan antara Pilpres 2024 dengan sebelum-sebelumnya adalah konteks situasi politik yang sudah jauh berubah, di mana pada 2014 dan 2019 Prabowo menjadi rival Jokowi, kini Prabowo justru menjadi sekutu kuat dan capres yang didukung Jokowi,” jelas Hatta.

Majunya Gibran yang merupakan putera sulung Jokowi membuktikan dukungan Jokowi yang tidak main-main terhadap Prabowo. “Prabowo-Gibran mewujudkan formasi kepemimpinan nasional baru yang paling bisa menjamin keberlanjutan program-program Jokowi,”tegas Hatta.

Awalnya Jokowi juga memberikan dukungan terhadap Ganjar, bahkan mendorong bersatunya Prabowo dengan Ganjar. Hanya saja tidak tercapai kesepakatan soal siapa yang menjadi capres, ditambah dengan sikap Ganjar yang lebih memposisikan diri sebagai petugas partai.

“Aksi Ganjar dan elite PDIP menolak kehadiran timnas Israel yang membuat batalnya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 berujung pada merosotnya elektabilitas, hingga memaksa PDIP mempercepat deklarasi pencapresan Ganjar pada bulan April 2023,” jelas Hatta.

Sempat berangsur-angsur pulih, elektabilitas PDIP kembali ambyar setelah Prabowo-Gibran didaftarkan maju sebagai peserta Pilpres 2024. Sebaliknya dengan Gerindra yang terus melejit, tercatat kenaikan elektabilitasnya hampir 7 persen dibandingkan dengan pada awal 2023.

Menyusl di tiga besar, Golkar mengalami kenaikan elektabilitas dari kisaran 7-8 persen kini menyentuh 10,1 persen,. “Jika trennya terus naik, bisa jadi Golkar mengejar elektabilitas PDIP dan menjadi ancaman baru bagi pemenang Pemilu 2014 dan 2019 itu,” Hatta mewanti-wanti.

Selain Gerindra dan Golkar, partai-partai anggota koalisi pengusung Prabowo-Gibran lainnya juga naik tipis, yaitu Demokrat (6,8 persen) dan PSI (6,4 persen). Di jajaran papan menengah ke bawah ada PAN (3,3 persen), Gelora (1,3 persen), PBB (0,8 persen), dan Garuda (0,1 persen).

Sementara itu PPP yang turut mengusung Ganjar-Mahfud kembali melemah elektabilitasnya menjadi 2,1 persen. Lalu ada Perindo (1,6 persen) dan Hanura (0,2 persen), yang sama-sama berada pada jajaran menengah ke bawah.

Di kubu Anies-Cak Imin, hanya PKB yang menduduki peringkat lima besar dengan elektabilitas mencapai 6,5 persen. Berikutnya PKS yang nyaris tergelincir di bawah parliamentary threshold menjadi 4,0 persen, dan di bawahnya ada Nasdem (2,5 persen) dan Ummat (0,4 persen).

Dua partai baru lainnya masih belum menyatakan dukungan terhadap salah satu capres dan sama-sama nihil elektabilitasnya, yaitu PKN dan Buruh. Sisanya sebanyak 18,4 persen menyatakan tidak tahu/tidak jawab.

“Partai-partai yang tidak memiliki asosiasi dengan figur capres atau cawapres memang harus berjuang lebih keras karena sulit mendapatkan coattail effect,” pungkas Hatta. Partai-partai tersebut harus merumuskan strategi yang tepat agar bisa mendongkrak elektabilitas.

Survei CPCS dilakukan pada 7-14 Desember 2023, dengan jumlah responden 1200 orang mewakili 34 provinsi yang diwawancarai secara tatap muka. Metode survei adalah multistage random sampling, dengan margin of error ±2,9 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen. (*)