Dinamika menuju Pemilu 2024 terus menghangat, dengan manuver partai-partai politik membangun koalisi dan menggulirkan nama-nama capres yang bakal diusung. Paling awal adalah terbentuknya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diinisiasi Golkar, PAN, dan PPP.
Masuknya ketua umum PAN ke dalam pemerintahan membuat semua pimpinan KIB berada dalam barisan pendukung Presiden Jokowi. Hal itu memperkuat dugaan bahwa KIB bakal menjadi kekuatan politik Jokowi dan mendukung capres penerus Jokowi pasca-2024.
Tetapi KIB sendiri belum memunculkan nama-nama capres yang definitif. Sebaliknya dengan Nasdem yang mengusulkan sekaligus tiga nama dalam rakernas, yaitu Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Andika Perkasa.
Di luar poros KIB, belum ada koalisi yang resmi terbentuk. Meskipun telah mempunyai capres, Nasdem masih melakukan penjajakan terutama dengan PKS dan Demokrat. Sementara itu PKB semakin gencar mendekati Gerindra, yang hampir pasti bakal mengusung Prabowo Subianto.
Pembentukan koalisi tak terhindarkan mengingat masih berlakunya ketentuan ambang batas pencalonan presiden (PT) sebesar 20 persen. Partai-partai juga berharap bisa mendapatkan coattail effect dengan mengusung capres-cawapres yang berpeluang menang dalam Pilpres.
Tetapi temuan survei yang dilakukan Center for Political Communication Studies (CPCS) menunjukkan setelah mengusung Anies sebagai salah satu capres, elektabilitas Nasdem justru merosot tajam menjadi 2,1 persen.
Padahal hingga tiga bulan lalu, Nasdem masih mampu mengamankan posisi dengan meraih elektabilitas di atas ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Anjloknya dukungan terhadap Nasdem berbanding terbalik dengan kenaikan elektabilitas partai-partai nasionalis lainnya.
PDIP misalnya, tetap unggul pada peringkat pertama dan mengalami kenaikan elektabilitas menjadi 19,5 persen, disusul Gerindra sebesar 13,2 persen dan Golkar 8,8 persen. Tampak terjadi pergeseran pemilih nasionalis meninggalkan Nasdem setelah mencapreskan Anies.
“Keputusan mengusung Anies sebagai capres membuat Nasdem ditinggal oleh sebagian pemilih nasionalis,” ungkap Direktur Eksekutif CPCS Tri Okta S.K. dalam press release di Jakarta pada Kamis (4/8).
Di antara tiga partai yang berpeluang mengusung Anies, hanya PKS yang tampak menikmati kenaikan elektabilitas. PKS meraih elektabilitas 6,0 persen, di bawah PKB (7,1 persen). Sedangkan Demokrat cenderung stagnan (5,3 persen), di bawah PSI (5,6 persen).
Menurut Okta, keputusan Nasdem mencapreskan Anies belum tentu sudah bersifat final. Masih ada dua nama lain, yang semuanya bukan dari internal Nasdem. Partai-partai masih berharap bisa mengusung capres dari internal, termasuk PKS dan Demokrat.
Terakhir, PKS berupaya melakukan judicial review meminta Mahkamah Konstitusi untuk mengubah ketentuan tentang PT 20 persen. “Mencapreskan Anies merupakan strategi Nasdem untuk memimpin poros koalisi di luar PDIP, Gerindra, dan Golkar,” tandas Okta.
Sementara itu elektabilitas mitra koalisi KIB dua-duanya masih berada di bawah ambang batas parlemen, yaitu PPP (2,7 persen) dan PAN (2,3 persen). Turunnya elektabilitas Nasdem membuat posisinya setingkat di atas Perindo (1,5 persen).
Berikutnya ada partai-partai politik baru, yaitu Gelora (1,3 persen) dan Ummat (1,0 persen). Sisanya di bawah 1 persen, partai-partai baru lainnya total didukung 1,0 persen, dan tidak tahu/tidak jawab 21,4 persen.
“Peta koalisi dan bursa capres masih sangat dinamis, termasuk pertimbangan Nasdem untuk mengusung Anies,” pungkas Okta. Sejauh ini Anies masih menjadi figur sentral di kubu oposisi pemerintahan Jokowi, dan kerap dirangkul untuk meningkatkan posisi tawar dalam politik.
Survei CPCS dilakukan pada 22-27 Juli 2022, dengan jumlah responden 1200 orang mewakili 34 provinsi yang diwawancarai secara tatap muka. Metode survei adalah multistage random sampling, dengan margin of error ±2,9 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen. (*)