Select Page

Usulan agar ketentuan tentang masa jabatan presiden maksimal dua periode diubah terus bergulir. Perubahan sebelumnya dilakukan lewat amandemen terhadap UUD 1945 asli yang tidak membatasi presiden boleh menjabat hingga berapa periode. Selama Orde Baru, Presiden Soeharto terus-menerus dipilih setiap lima tahun, hingga berkuasa 32 tahun lamanya.

Adagium bahwa power tends to corrupt pun terjadi. Soeharto dilengserkan melalui gerakan reformasi yang menentang praktik-praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Arus demokratisasi menghasilkan desakan agar masa jabatan presiden dibatasi hanya boleh paling lama dua periode, setelah itu tidak boleh lagi dicalonkan.

Sejak amandemen tersebut, kita telah memiliki dua presiden yang menjabat dua periode berturut-turut, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi). Di satu sisi bangsa ini telah matang dalam memilih pemimpin melalui proses demokrasi, tidak lagi melalui gerakan menjatuhkan presiden seperti era 1965 dan 1998.

Di sisi lain, keinginan untuk meninjau kembali ketentuan tentang masa jabatan presiden tetap terbuka. Sebagian pendukung Jokowi misalnya menginginkan batasan dua periode dihapus, diganti menjadi tiga periode, agar pondasi pembangunan yang sedang diletakkan tuntas dan bisa membawa Indonesia menjadi negara maju.

Kalangan yang tidak setuju mengkhawatirkan kecenderungan otoritarianisme jika pemimpin terlalu lama berkuasa. Bahkan penentang keras kepemimpinan Jokowi ingin agar presiden cukup menjabat satu periode saja. Alasan lainnya, ketika capres petahana maju kembali, peluang untuk menang lebih besar dengan sumber daya yang dimiliki di kekuasaan.

Jalan tengah yang bisa menjadi kompromi adalah masa jabatan presiden dibatasi cukup satu periode saja, tetapi lama periodenya diubah menjadi 7 tahun. Dengan demikian presiden bisa punya cukup waktu untuk menyelesaikan program-programnya, lalu tidak disibukkan untuk memikirkan bagaimana caranya maju mencalonkan diri kembali.

Perdebatan tentang konsep periode masa jabatan presiden masih menjadi konsumsi publik secara terbatas. Temuan survei yang dilakukan Center for Political Communication Studies (CPCS) menunjukkan hanya 17,6 persen publik yang mengetahui usulan perubahan masa jabatan presiden menjadi cukup satu periode saja selama 7 tahun.

Sebagian besar mengatakan tidak tahu, yaitu mencapai 82,4 persen. “Di antara yang mengetahui, mayoritas publik setuju perubahan ketentuan agar presiden menjabat cukup satu periode saja selama 7 tahun,” ungkap Direktur Eksekutif CPCS Tri Okta S.K. dalam press release di Jakarta pada Rabu (25/11).

Sebanyak 86,3 persen menyatakan setuju usulan perubahan tersebut, hanya 13,7 persen yang tidak setuju. “Para elite politik, akademisi, dan tokoh bangsa diharapkan mempertimbangkan opini publik tersebut, sekaligus membuka wacana tersebut seluas-luasnya agar publik mengetahui serta bersuara,” pungkas Okta.

Survei CPCS dilakukan pada 11-20 November 2020, dengan jumlah responden 1200 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia. Survei dilakukan melalui sambungan telepon terhadap responden yang dipilih secara acak dari survei sebelumnya sejak 2019. Margin of error survei sebesar ±2,9 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen. (*)